AKU GAK DIHARGAI LAGI DIRUMAH

Oleh : Ando Lan


Setelah anak-anak Bainar mendesak kami segera mengosongkan rumahnya, kami pun berembuk sekeluarga gimana caranya biar bisa bangun rumah secepatnya dikaplingan sana. Jujur aja aku gak punya duit tabungan. Bisa sekolah aja keempat anakku sampai SMA udah hebat itu. Karna yang kerja cuma aku, istriku gak kerja. Apalagi biaya masuk Polisi kedua anakku juga sangat besar.


Anak ketiga dan si bontotku memang lagi kuliah. Namun biaya kuliah mereka adalah dari kakaknya yang Polwan dan dari abangnya yang Polisi. Tapi meskipun begitu, tetap juga aku dipaksa harus ikut menambahnya. Upaya mau bangun rumah pun sempat terjegal oleh biaya. Kedua anakku yang udah Polisi mengaku gak sanggup kalau aku gak ikut membantu. Padahal duitku mana ada.


Kami pun memulai membangun rumah diatas kaplingan itu. Selama proses pembangunan rumah kami, aku selalu ditekan oleh istriku. Herannya anakku pun diam aja gak pernah membelaku. Apapun yang dibilang istriku, mereka malah mendukung dan ikut-ikutan dengan Mamanya.


Akhirnya mereka pun jadi berubah ke aku. Mereka jadi jahad! Aku kaget aja dengan bebasnya mulut kedua anakku yang udah Polisi ini memaki-maki aku. Anakku marah-marah aja ke aku. Aku jadi sangat terhina dan gak dihargai lagi. Aku selalu dikata-katain suami gak berguna, dan Ayah yang bermanfaat. Mereka menyalahkan aku karna selama ini gak bisa nabung. Udah tua gini aja belum punya rumah. Sekarang setelah di usir baru tau rasa, katanya.


Istriku pun setiap hari ngomel-ngomel padaku. Dia juga gak berhenti-berhenti nyalahin aku. Katanya itu tugas dan tanggung jawab aku sebagai suami. Masa' hari gini belum punya rumah. Aku pun dituding sebagai suami dan bapak yang bodoh, yang gak pintar cari pemasukan diluar sana.


"Kau yang bodoh! Ngapa kau gak cari duit masuk selama ini. Masa' cuma ngarapin gaji yang gak seberapa itu!", ucap istriku.


"Entah, Bapak ini! Bapak orang rendah juga pangkatnya, tapi uang masuknya banyak. Dia pintar ngolah ini itu, ngolah sana sini.", ucap anakku yang Polwan.


"Kalau kau pintar nyari duit masuk dulu, gak mungkin kita belum punya rumah. Kami pun pasti bisa sarjana semua!", ucap anakku yang Polisi.


"Pusing aku mikirin banyaknya biaya. Harusnya bantu kek dikit! Masalahnya uang kuliah orang ini lagi yang perlu dipikirin!", ucap si Polwanku.


"Bapak gak punya duit, Nak!", ucapku.


"Mati aja, kau! Masa' gak punya duit. Ya cari dong!", ucap si Polwanku.


"Dari dulu kubilang sama Bapakmu ini, pintar-pintar nyari sampingan. Tapi mana?", ucap istriku dengan muka masam.


Lalu aku pun langsung pensiun dari Polisi. Sekarang aku cuma nerima gaji pensiun yang gak seberapa itu. Akhirnya mereka semua memusuhi dan membenciku. Aku dibilang Bapak yang gak berguna, Bapak sialan, Bapak yang bodoh. Gak ada lagi harga diriku sedikit pun dimata anak istriku. Makin parah aja setelah aku pensiun. Karna setiap paginya aku gak lagi pergi dari rumah.


Aku dipaksa harus kerja! Kerja apapun yang penting ada duitnya. Istriku gak mau kalau cuma nerima gaji pensiun. Tiap hari anak istriku ngomel aja kerjanya. Mereka bilang aku bikin sumpek aja dirumah. Mereka lebih senang kalau gak melihatku dirumah.


"Pergilah sana cari kerja! Gak mikir kau kita perlu banyak biaya?", bentak istriku.


"Entahlah. Muak pula aku liatnya dirumah terus. Pergi kek nyari kerja!", ucap si Polwan.


"Bikin nyemak aja kau disini. Gak kerja tapi hidup!", ucap anakku yang nomor dua.


Akhirnya aku pun susah payah nemui beberapa kenalan siapa tau aku bisa dibuat kerja. Aku pun nemui beberapa PKS (Pabrik Kelapa Sawit) dan juga PT. Pertamina. Aku berharap bisa direkrut jadi kepala Security. Tapi realita yang kuterima gak sesuai dengan ekspektasiku. Aku cuma diterima sebagai anggota Security biasa. Tapi aku mau aja.


Aku pun kerja disalah satu perusahaan yang jauh dari kediaman kami. Lokasinya diluar kota, disebuah Kabupaten. Itu pun masih di Kecamatannya lagi. Meski capek dan melelahkan aku jalani semuanya, biar anak istriku gak terlalu ngomelin aku. Dan begitu aku terima gaji, semua gajiku langsung pindah ke tangan istriku semuanya, sama dengan gajiku semasa Polisi dulu. Padahal gaji pensiunku pun dia yang menerima. Karna rekeningnya udah dia yang megang.


Istriku menghasut semua anak-anak agar benci ke aku. Dan gak pake lama, mereka pun kompak membenciku. Gak ada sedikit pun mereka menghargaiku lagi dirumah itu. Aku dihina, dan benar-benar gak punya harga diri lagi sebagai Ayah dan suami disana.


Tapi anak ketiga dan anak bungsuku masih terlihat netral ke aku. Mereka masih punya rasa kasian dan gak tegaan ke aku. Tapi mereka juga bingung, mereka gak mungkin bisa melarang kakak dan abangnya agar jangan membenciku. Soalnya yang biayain kuliah mereka kakak dan abangnya itu. Mereka pun banyakan diam aja ketika aku dimaki-maki.


Mungkin dalam hatinya masih pengen membela aku tapi itu gak dilakukan. Mereka takut abang dan kakaknya marah dan mengancam gak ngasih uang kuliah. Setiap harinya, anakku yang Polisi dan Polwan udah gak punya batasan lagi bilang apa ke aku. Semua hinaan udah dibilangnya. Semua kata-kata kotor udah diucapkannya ke aku.


Aku heran aja, kok bisa ya anak sama Mama kompak memusuhi Bapaknya sendiri. Dan semua murni karna pengaruh istriku. Taruhlah istriku udah benar-benar muak dan benci melihatku, tapi masa' bisa-bisanya anak-anakku pun ikut-ikutan tanpa punya hati sedikit pun melihat Bapaknya sendiri? Dimana nurani mereka?


Anggaplah memang Mamanya menghasut mereka memusuhiku. Tapi masa' gak ada yang protes, atau balik marah ke Mamanya, atau setidaknya ngingatin Mamanya agar jangan begitu sama Bapak. Entah apa yang dibuat istriku mempengaruhi anak-anak kami. Kok semuanya langsung menurut apa kata dia.


Tapi meskipun begitu, kami mulai juga membangun rumah diatas kaplingan itu. Biaya yang paling besar adalah dari anak sulungku yang Polwan. Lalu dari anak keduaku yang juga Polisi itu. Sementara dua adik mereka juga butuh duit kuliah yang juga gak sedikit.


Gajiku sebagai Bripda (Brigadir Polisi Dua) sangatlah kecil. Itupun udah syukur bisa pensiun dengan pangkat Bripda. Soalnya aku dulu cuma berhenti di Abrib (Ajun Brigadir Polisi) dengan lambang 3 bengkok merah. Tapi beberapa tahun belakangan ini, terjadi pemutihan atau penghapusan pangkat Tamtama. Itulah makanya dipundakku bisa tersemat satu bengkok kuning. Kalau bukan karna pemutihan itu, gak ada ceritanya aku naik ke posisi Bripda ini.


Aku pun memohon-mohon ke anak-anak Bainar agar mau memberi kami waktu tinggal beberapa saat kedepannya lagi. Aku bilang rumah kami lagi proses pembangunan. Begitu selesai rumahnya, kami akan segera pindah. Akhirnya kami diberi waktu dengan batas waktu tertentu. Kalau lewat batas itu masih belum pindah juga, mereka gak segan mengusir paksa.


Rumah kami pun akhirnya selesai juga. Kami pun langsung pindah kesana. Rumah itu gak terlalu besar, kamar tidurnya hanya ada 4 buah. Lalu anak-anakku pun berebutan soal status kepemilikan rumah. Yang satu bilang duitku yang paling banyak habis, yang satu lagi bilang aku anak laki-laki.


Dan gara-gara itu, semuanya lomba tinggal dirumah itu. Gak ada yang mengalah antara kedua anakku yang udah Polisi ini. Kebetulan anak pertamaku, si Polwan, udah nikah. Suaminya Polisi juga. Lalu mereka menempati salah satu kamar rumah itu. Dan anak keduaku yang Polisi itu masih lajang waktu itu, dia pun dapat jatah satu buah kamar tidur.


Harusnya anak sulungku ini bisa tinggal di aspol. Tapi dia gengsi ke teman-temannya. Dia malu tinggal di asrama. Dia bilang ke teman-temannya, dia lagi membangun rumah, rumah yang dibangunnya besar. Begitu juga dengan anak nomor duaku. Dia ogah stay di asrama.


Satu kamar lagi yang harusnya jatahku dengan istriku, sekarang jadi jatah istriku dengan sibontot. Kebetulan sibontot anak perempuan. Lalu si anak nomor 3 yang laki-laki tidur diruang keluarga. Aku dimana? Aku dibuatkan kamar dibelakang, persis kayak gudang. Ruangannya begitu pengap, panas, gelap, dan kumuh.


Kebetulan masih ada spasi dibagian dapur kami. Disitulah disekat pake tripleks dan tampilannya lebih mirip gudang barang rongsokan. Disitulah aku ditempatkan. Ventilasinya gak ada, ruang cahaya juga gak ada. Meski dikasih kipas angin yang kecil, itu gak banyak membantu.


Mereka mengasingkan aku dikamar belakang kayak ODGJ. Makananku pun sangat dibatasi. Aku cuma dikasih makan sehari sekali. Itupun porsinya sedikit dan dengan asupan gizi yang gak menunjang. Aku benar-benar diasingkan disana! Meskipun tanganku gak diborgol atau dirantai, atau kakiku gak dipasung, tapi aku memang dibatasi keluar dari sana.


Aku dilarang sering-sering keluar kamar. Aku gak boleh lagi keruang keluarga untuk sekedar nonton TV, apalagi duduk-duduk disofa ruang tamu. Aku harus kebanyakan mengurung diri didalam kamar. Mereka gak sudi melihatku. Mereka gak mau aku mengganggu acara mereka diruang tamu sana.


Kehadiranku disana hanya akan mengganggu suasana, merusak kebahagiaan mereka. Makanya aku gak boleh sering-sering keluar kamar. Bahkan makan pun aku gak diajak lagi. Aku hanya bisa mendengar mereka ketawa ketiwi sambil misalnya masak makanan tertentu.


Berapa kali mereka terdengar motong ayam dan memasak bersama-sama, lalu makan bersama-sama. Tapi aku sama sekali gak dipedulikan lagi. Aku sama sekali gak diajak makan lagi. Sementara perutku udah keroncongan. Tubuhku udah lemah gak berdaya karna belum makan. Tapi aku harus menahannya sambil meringkuk dialas-alas tempat tidurku.


Ketika kudengar udah gak ada suara berisik diruang tamu, karna mereka udah pada masuk kamar masing-masing, aku pun keluar kamar dengan sangat hati-hati. Aku membuka tudung saji dimeja. Ya Olloh... cuma ada tersisa kentang dua iris dengan kuah gulainya. Itulah jatahku! Itulah kucampur ke nasi dan kubawa ke kamarku.


Dalam sehari-hari, mereka seringan ngantar makanan ke kamarku kayak ngasih anj1ng makan. Tapi kadang gak diantar, harus aku yang keluar ngambilnya. Padahal gak jarang aku dapatin gak ada apa-apa diatas meja. Karna mereka gak menyisakan apa-apa untukku. Akupun benar-benar tersiksa bagai dineraka dengan perlakuan mereka.


Badanku pun auto menyusut. Aku udah sangat kurus dan sangat memprihatinkan. Rambutku udah gondrong gak terurus. Penampilanku udah persis dengan ODGJ. Padahal pikiran dan otakku sehat dan waras, tapi karna aku udah disiksa, ya gitu jadinya kondisiku.


Sebagai pria perokok, aku juga terancam merokok, selain terancam makan tentunya. Kalau ku minta rokok anakku yang Polisi itu sebatang, dia akan marah dan gak mau ngasih.


"Main tinjulah kita dulu, baru kukasih!", ucapnya.


Sememprihatinkan itulah kondisiku diperlakukan anak istriku. Semua karna pengaruh dan pengajaran yang salah dari istriku. Anakku bisa melupakan jasaku sebagai Ayah yang selama ini menghidupi mereka. Karna istriku sama sekali belum pernah nyari duit. Akulah semuanya untuk biaya hidup dan sekolah anak-anak, bahkan untuk membayari hutang puluhan juta ketika dua anakku masuk Polisi.


Tapi anakku sanggup bilang, bahwa Mamanyalah yang menyekolahkan mereka selama ini, bukan aku. Aku sama sekali gak punya kontribusi katanya makanya mereka bisa seperti sekarang ini.


"Mama yang nyekolahin kami, bukan Bapak!", ujar anakku yang Polwan.


"Bukan karna kau aku bisa jadi Polisi, tapi karna Mama!", ujar anak keduaku yang Polisi itu disaat yang berbeda.


Kalau aku protes sedikit aja omongan anakku yang Polwan, dia akan membentakku dan menyebut namaku langsung bagai nyebut nama anak kecil. Dia udah mengkau-kaukan aku sekarang dan menyuruh mendiam-diamkan aku.


"Diam kau, Yusman! Kau gak punya hak apa-apa lagi dirumah ini. Sekarang yang berkuasa aku! Duitku yang lebih banyak habis bangun rumah ini!", ucapnya dengan mata melotot sampai nyaris keluar bola matanya.


Otakku pun buntu. Aku gak tau kemana harus mengadu, kemana aku akan curhat. Aku pun benar-benar menderita, sengsara, dibawah pemerintahan anak istriku. Sementara sanak saudaraku juga udah kumusuhi dan kujauhi selama ini. Apa mau mereka peduli kalau aku kasihtau masalahku ini ya? Untuk nelfon mereka aja berat rasanya.


Diberbagai kesempatan, ketika ada suatu pertemuan, aku pun gak segan-segan curhat ke orang lain yang bukan siapa-siapaku. Kami hanya satu kumpulan atau satu arisan karna misalnya dia satu ordo dengan istriku. Semuanya nampak kaget dan nyaris gak percaya dengan penuturanku. Mereka sulit percaya anak isteri sejahat dan seanj1ng itu ke aku.


Namun mereka bukan berarti gak percaya kata-kataku. Mereka tau aku gak boong! Mereka tau aku gak menambah-nambah sedikitpun itu. Namun mereka benar-benar terkejut dengan keb14daban anak istriku itu. Ketika menghadiri pesta pernikahan, akupun terkejut melihat hidangan makanan yang lezat. Karna udah lama aku gak pernah menikmati makanan lezat.


Ketika kabar buruk tentangku sampai ke telinga para saudara kandungku. Mereka kaget sekaget-kagetnya membayangkan kesadisan dan kebi4adaban anak istriku yang menyengsarakan aku sampai sedemikian tersiksanya. Tapi mereka gak berani ikut campur. Karna anakku yang Polwan selalu bkagu dan songong karna dia Polisi. Dia selalu merasa sok hebat dan menggertak bakal menemb4k siapa aja yang mengurusi urusannya.


Sampai anak keduaku yang Polisi itu nikah, dia tetap gak mau tinggal di asrama. Dia juga gabung tinggal dengan istrinya dirumah kami. Dan beberapa tahun berikutnya, anak ketigaku juga nikah. Dia juga tinggal dirumah itu. Entah mengapa gak mau ngontrak rumah diluar sana. Orang-orang seordo kami juga udah ngomongin kami. Kayak gak punya adat katanya tinggal ramai-ramai beberapa kepala keluarga dalam satu rumah.


Rumah itu udah persis kayak kost-kostan. Para penghuni tinggal dikamar masing-masing. Ruang tamu hanya tempat santuy sejenak sebelum semuanya masuk kamar masing-masing. Bayangin 4 KK menempati satu buah rumah. Gimana coba sesaknya itu! Tapi anak-anakku ini gak punya malu sama sekali. Mereka gak punya rasa segan dan sungkan tinggal bareng iparnya dalam sebuah rumah!


Tamat

Komentar

Postingan populer dari blog ini

π™†π™€π™‰π˜Όπ™‹π˜Ό π™‡π™€π™ƒπ™€π™π™‰π™”π˜Ό π˜½π™€π™‚π™„π™π™?

AKU SENGAJA PULANG KERUMAH PADA SAAT JAM KERJA

TERNYATA ISTRIKU SELINGKUH DENGAN BAINAR